To rank or to be ranked: mereka-reka meningkatkan mutu Untan*
Dr.Leo Sutrisno
Prolog
Pergantian tahun, jika tidak dirasakan hanya seperti pergantian minggu, pergantian hari, pergantian siang malam, atau pergantian jam, tanpa makna. Yang berubah hanyalah waktu menurut kalender. Tetapi, yang lain tidak ada berubah. Bagaimana dengan Universitas Tanjungpura?[1]
Pendahuluan
Memasuki tahun ke-16 di Abad ke-21, Universitas Tanjungpura sedang menapaki usia ke-57. Usia 57 tahun tentu sudah tidak bisa disebut masih muda. Dibandingkan dengan universitas yang seusia, Universitas Monash misalnya, yang didirikan pada tahun 1958 (satu tahun lebih tua), Universitas Tanjungpura berada jauh di belakang.
Suatu kesempatan yang baik, di awal tahun 2016 ini, kita duduk dan berdiskusi tentang masa depan Untan. Salah satu titik awal dalam berpikir masa depan adalah posisi masa kini. Ada banyak cara untuk melihat masa kini suatu perguruan tinggi, salah satu di nataranya adalah rankingnya. Paling tidak ada empat (4) lembaga survai yang menyajikan posisi universitas secara internasional, yaitu: The Ranking Web or Webometrics , The Times Higher Education World University Rankings, Quacquarelli Symonds, dan Academic Ranking of World Universities- ARWU [2].
Webmatric 2015 Edisi 2.1 menempatkan Unversitas Tanjungpura pada ranking ke-4868 dunia dan ranking ke-68 di antara 100 perguruan tinggi di Indonesia[3]. Sebagai bandingan, UGM (518), UI (660), 704 (ITB), Unibra (738), dan IPB (1016) atau berturut-turut pada nomor 1, 2, 3, 4, dan 5 di Indonesia. Politknik Negeri Pontianak (5916) menempatkan pada urutan ke-91, dan Universitas Lambung mangkurat (5959) pada urutan ke-93 di antara perguruan tinggi perguruan tinggi di Indonesia.
Pemberian ranking seperti ini, menempatkan perguruan tinggi pada suatu ‘liga kompetisi tunggal’ di pasar internasional dan mungkin juga nasional. Namun, perbandingan ini hanya didasarkan pada satu model perguruan tinggi, yaitu ‘universitas riset’. Akibatnya, banyak perguruan tinggi yang ‘terpaksa’ berorientasi pada pengetahuan kognitif dan bahasa Inggris[4].
Diramalkan, di abad ke-21 ini merupakan era kompetisi bagi perguruan tinggi yang tidak terelakkan. Di satu sisi, kompetisi mendorong para akademisi menapaki tangga kariernya menuju ke posisi puncak, posisi ‘excellence’. Di sisi yang lain, kompetisi juga dapat menurunkan penghargaannya kepada nilai-nilai tradisional, misi, serta rasa memiliki sebagai seorang ilmuwan[5]. Kisah perjuangan perguruan tinggi di Tiongkok tahun 1950-an dan 1960-an untuk meng-internasional sekaligus mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dapat dijadikan contoh[6].
Ada enam tantangan global bagi perguruan tinggi di abad ke-21 ini, yaitu: fokus misinya, kurikulum, tata kelola, hubungan eksternal, penelitian, serta biaya[7]. Dalam perspektif global, pada umumnya sifat internasional merujuk pada ‘global contents’. Walaupun, sesungguhnya, setelah mempelajari ‘global contents’ tidak serta merta seseorang berwawasan global karena dalam memahami ‘global contents’ itu juga dipengaruhi oleh kedalaman dan intensitas keterlibatannya[8].
Wajah global yang dikembangkan di awal abad ke-21 adalah multi-budaya. Unesco memprediksi di abad ke-21 ini ada pergeseran yang diberi nama ‘From local community to the world society’[9]. Karena itu, pendidikan mesti dikembangkan dalam sebuah bangunan dengan ‘learning to know’, ‘learning to do’, ‘learning to live together with others’ dan ‘learning to be’ sebagai pilar-pilarnya.
Berkaitan dengan ‘learning to live together, recomendasinya berbunyi, “Learning to live tagether, by developing an understanding of other people and an appreciation of interdependence – carrying out joint projects and learning to manage conflicts -in a spirit of respect for the values of pluralism, mutual understanding and peace”. Pendidikan harus memberi ruang pada keberagaman budaya.
Ada dua perspektif tentang pendidikan yang bernuansa keberagaman budaya[10]. Perspektif pertama adalah perspektif asimilasi. Dalam perspektif ini, budaya-budaya mikro mesti meninggalkan kebudayaan dan identitas aslinya dan meleburkan diri ke dalam kebudayaan yang lebih besar dan dominan. Dalam konteks global sekarang ini, kebudayaan yang dominan adalah kebudayaan Barat. Perspektif kedua adalah perspektif global yang memandang budaya-budaya mikro dapat tetap mempertahankan kebudayaan dan identitasnya di dalam ‘ruang’ budaya dominan. Disarankan agar perguruan tinggi mengadopsi perspektif global ini jika tidak ingin tersingkir dari kompetisi global[11].
Ada enam teori yang dapat digunakan untuk mengembangkan kurikulum yang menggabungkan unsur-unsur global dan unsur-unsur lokal[12]. Ke-enam teori itu adalah: the theory of amoeba, theory of fungus, theory of DNA, theory of cristal, theory of birdcage dan theory of tree. Mungkin, the theory of tree lebih cocok untuk diadopsi di Universitas tanjungpura. Para pearancang kurikulum mengawali tugasnya menginventarisasi materi lokal Kalimantan Barat di setiap bidang. Kemudian mengintegrasikan materi lokal ini pada kerangka teori/pikir internasional yang kemudian dijabarkan ke menjadi materi ajar. Hasil dari pendidikan seperti ini adalah ‘A local person with international outlook’. Model pengembangan kurikulum seperti ini telah dilakukan di Malaysia.
Sebagai ilustrasi, di bidang psikologi kepribadian dikenal sembilan (9) tipe manusia, yang disebut enneagram[13], yaitu: The reformer, the helper, the achiever, the individualist, the investigator, teh loyalist, the enthusiast, the challenger, dan the peacemaker. Mempelajari sifat-sifat tokoh wayang maka dapat dibuat model enneagramnya[14].
Selain bahan ajar yang disusun dengan strategi the theory of tree, penyampaian kepada mahasiswa juga perlu dipikirkan. Sebuah rangkuman internasional melalui meta analisis, ditemukan 39 model pembelajaran[15] yang didasarkan pada 24.904 penelitian yang melibatkan 50.953 siswa yang menghasilkan Effect Size (ES) rata-rata 0.43. Harga ES sebesar ini menempatkan pembelajaran menempati urutan ketiga paling besar mempengaruhi hasil belajar, setelah pendidik (2052 penelitian, 0.5 juta siswa, ES= 0.50) dan kurikulum (6892 penelitian, 7 juta siswa, ES = 0.45).
Salah satu dari ke-36 model pembelajaran adalah ‘e-learning’. Ada dua meta-analisis yang terkini dilakukan. Pada tahun 2013 dipublikasikan hasil meta analisis 305 penelitian tentang hubungan E-learning dan efektivitas belajar yang dilaksanakan 2002-2013. Effect Size rata-rata sebesar 0.30[16]. Meta analisis terbaru, 2015, didasarkan pada 10 penelitian yang dilaksanakan 2013-2015 khusus di perguruan tinggi. Effect Size rata-rata sebesar 0.78. Dua kelompok meta analisis yang mirip dengan E-learning adalah ‘multi-media methods’ dan ‘web based learning’[15]. Effect Size rata-rata ‘Multi-media methods’ adalah 0.15 (244 penelitian) dan Effect Size rata-rata ‘Webe based learning’ sebesar 0.09 (10 penelitian). Karena masih belum konklusif, maka akan lebih baik jika tidak saling berargumentasi lagi jika Untan akan mengembang e-learning ini. Mulai saja, dan kelak, dievaluasi effect size-nya.
Tiga topik lain yang akan dikiskusikan hari ini: perkuliahan lintas Program/Prodi/Fakultas, monitoring dan evaluasi akademik, dan peraturan akademik[18] yang kiranya dapat dicakup dalam ‘Governance systems’. Jika sepakat dengan istilah ini maka debat akan dilaksanakan atau tidak dengan segala konsekuensinya merupakan debat pilihan antara ‘tidak tertib’ dan ‘tertib’[19].
Jika ‘tertib’ yang akan dipilih maka kata-kata ‘magis’ yang perlu disosialisasikan kepada seluruh warga Untan adalah ‘Tertib diriku, tertib kampusku’. Enam tata nilai yang perlu ditanamkan adalah: patuh, tunduk, percaya, sepakat, bergabung, dan utuh. Saran berikut baik untuk dipertimbangkan, “A new perspective is gaining support: campuses can build effective governance through an investment in leadership development and through mechanisms that nurture faculty, staff, and administrative relationships (for example, sponsoring campuswide events)[20].
Sebelum masuk pada diskusi kelompok, ijinkan sajian ini dikembangkan ke dalam ‘bangunan reformasi pendidikan’[21] lebih dahulu. Apa yang akan dilakukan di Untan sebaiknya juga berangkat dari capaian pendidikan Indonesia dewasa ini. Sejumlah usulan sebagai usaha yang mungkin dapat dilakukan disertakan dalam bangunan ini. Diharapkan, kebijakan yang akan diambil Untan, kelak, menghasilkan alumni yang tetap hidup selamat mengarungi gelombang perubahan masyarakat Indonesia dewasa ini.
Pendidikan Indonesia di panggung dunia
Dibandingkan dengan 82 negara yang lain, pada tahun 2012 Indeks Kreatifitas Indonesia sebesar 0.04. Nilai ini jauh lebih rendah daripada Indeks Kreativitas Malaysia (0.43)[22]. Data terbaru, 2015, Indeks Kreativitas Indonesia 0.20. Harga ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-115 dari 139 negara yang di survai[23] dan pada posisi paling rendah di Asia Tenggara[24].
Global Innovation Index tahun 2013 menempatkan Indonesia pada ranking ke-85 dari 143 negara yang berpartisipasi. Sekali lagi posisi Malaysia jauh lebih tinggi (32). Vietnam berada pada posisi ke-76 dan Thailand pada posisi ke-57[25]. Data terbaru (2014) Indonesia pada ranking ke-87/143 [26] dan (2015) pada ranking ke-97/141 [27]
Lembaga lain, The Learning Curve, 2012, melaporkan ‘Global index of cognitive skills and educational attainment’ orang Indonesia pada posisi z = -2.03. Posisi ini berada pada kelompok 5 terendah bersama-sama dengan: Turki (z = -1.24), Colombia (z = -1.46), Thailand (z = -1.46), Mexiko (z = -1.60), dan Brazil (z = -.1.65)[28]. Data terbaru, 2014, capaian Indonesia z = -1.84[29].
The Program International Students Assessment-PISA, (2012), menempatkan rerata hasil belajar 5000 siswa Indonesia antara usia 15 tahun 3 bulan dan 16 tahun 2 bulan pada urutan ke-64 di bidang matematika dan IPA, serta pada urutan ke-61 di bidang membaca di antara 65 negara anggota OECD serta mitra-nya[30].
PISA 2015 sedang dalam proses. Selain IPA, matematika, ‘reading’ sebagai domain utama, ada dua domain minor yang juga diukur, yaitu: ‘collaborative problem solving’ dan ‘financial literacy’. Sekitar 70 negara anggota OECD dan mitra berpartisipasi. Hasilnya akan diterbitkan pada Desember 2016 [31].
Laporan berbagai lembaga survai internasional menunjukkan bahwa pencapaian pendidikan di Indonesia sangat tidak menggembirakan. Banyak penjelasan yang muncul. Namun, temuan PISA mungkin cukup baik jika direfelksikan, yaitu ada 96% siswa indonesia yang mangaku “Being happy at school” dan “Lack of hard work and in control for success”. Prof. M. Nuh mantan Mendikbud menyatakan “Hampir semua siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3 saja, sementara negara lain banyak yang sampai level 4, 5, bahkan 6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, interpretasi dari hasil ini hanya satu, yaitu: yang kita ajarkan berbeda dengan tuntutan zaman maka perlu penyesuaian kurikulum”[32] . Selanjutnya, Menteri menyatakan “Perlu dirumuskan kurikulum berbasis proses pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal …. untuk meningkatkan kreativitas peserta didik”[33]. Tentu, pandangan ini bukan hanya berlaku bagi jenjang sekolah dasar dan menengah saja. Tetapi, juga berlaku bagi jenjang perguruan tinggi, tidak terkecuali Universitas Tanjungpura.
Usaha yang mungkin dipilih
Selain perubahan kurikulum masih ada sejumlah pilihan yang mungkin dapat dilakukan. Di antaranya adalah menguatkan muatan lokal, mentransplantisikan ‘Innovator’s DNA, mengintensifkan pembelajaran dalam tradisi konstruktivisme, mengubah paradigma berpikir dan bersikap, mengubah fungsi dosen dari fasilitator ke aktivator.
Penguatan muatan lokal sebaiknya dipilih kearifan lokal yang unggul. Walaupun ada empat teori yang mungkin dapat digunakan, yakni the theory of DNA, the Theory of cristal, the theory of birdcage, dan the theory of tree kiranya teori yang terakhir (the theory of tree) yang paling cocok[34].. Penerapan teori ini akan menghasilkan ‘A local person with international outlook’[35].
Pada tahun 2011, Jeff Deyer, Hal Gregensen, dan Clayton M. Christensen (2011) menerbitkan buku dengan judul The Innovator’s DNA yang didasarkan pada hasil penelitian selama 15 tahun tentang karakteristik 3000 eksekutif terkenal di dunia. Mereka menemukan lima ketrampilan yang disebutnya sebagai ‘Five Discovery Skills that Distinguish Great Innovators’. Kelima ketrampilan itu adalah ‘quetioning, observing, experimenting, networking, dan associating’[36]. Sebaiknya kelima ketrampilan ini juga ditumbuhkan di kalangan mahasiswa Untan.
Pembelajaran dengan tradisi behaviorisme sebaiknya semakin dikurangi intensitasnya sembari semakin mengintesifkan penerapan pembelajaran dalam tradisi konstruktifisme. Dalam tradisi pembelajaran konstruktivisme, belajar dipahami sebagai proses aktif peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui interaksinya dengan yang lain. Dalam tradisi konstruktivisme terjadi proses demokratisasi kebenaran (pengetahuan)[37]. Pembelajaran dengan tradisi konstruktivisme mirip penyusunan pengetahuan dengan format Wikipedia.
Perubahan tradisi pembelajaran, dari behaviorisme ke konstruktivisme tidak mudah dilakukan karena kita harus ke luar dari zona nyaman dan aman. Karena itu, kita para dosen Universitas tanjungpura mesti mengubah paradigma berpikir dan bersikap lebih dahulu[38]. Paradigma berpikir diterministik perlu digeser ke arah inditerministik. Demikian juga sikap kita mesti bergeser dari 2nd alternative ke 3rd alternative[39].
Dengan perubahan paradigma berpikir dan bersikap, maka fungsi dosen juga digeser dari sebagai fasilitator ke aktivator. Karena, effect Size dari pendidik sebagai aktivator (0.60; 1676 penelitian) jauh lebih tinggi daripada sebagai fasilitator (0.17; 3951 penelitian)[40].
Perubahan tradisi pembelajaran ini juga lebih baik dilakukan daripada perbaikan ‘kondisi kerja-working condition. Effect Size perbaikan pembelajaran (0.68; 2472 penelitian) juga jauh lebih tinggi daripada perbaikan kondisi kerja (0.08; 1569 penelitian).
Selain pembelajaran, jika ada dosen Universtas tanjungpura yang berani berinovasi, silahkan mencoba self-report grades. Effect Size cara ini paling tinggi (1.44; 209 penelitian) di antara 138 faktor yang lain.
Konteks pendidikan dalam situasi masyarakat Indonesia terkini
Pendidikan tidak beroperasi tunggal. Pendidikan beroperasi dalam konteks masyarakat dengan berbagai dinamikanya[41]. Sebagai bangsa, masyarakat Indonesia tidak berada di sebuah pulau yang terpisah dari sekitarnya. Masyarakat Indonesia berada gelombang perubahan dalam berbagai konteks.
Dunia dewasa ini mengalami perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika yang sangat luar cepat. Dalam sekejab data dan informasi dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Sebaliknya, setiap orang kebanjiran data dan informasi yang tanpa batas. Friedman menyebutnya sebagai ‘the world is flat’ [42]. Masyarakat dewasa ini memasuki gelombang kerja kolaboratif global. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: Bagaimana kita dapat masuk ke sana?[43]. Apa yang terjadi di sekitar kita? Media sosial telah menjadi ‘pendidik’ baru yang sangat disenangi secara luas. Kini muncul pendidik baru, media sosial. Dunia maya menjadi lingkungan ‘sekolah’ baru [44].
Masyarakat Indonesia di awal abad ke-21 mengalami berbagai transisi[45] yaitu transisi sosio-agama, sosio-budaya, sosio-ekonomi, transisi politik ketatanegaraan, dan transisi alih teknologi. Akibatnya banyak orang Indonesia yang mengalami krisis identitas serta kevakuman moral. Moral tradisional telah ditinggalkan sedangkan moral modern belum terbentuk. Akibatnya, masyarakat Indonesia mengalami dominasi penuh muslihat [46]. Dominasi-dominasi semacam ini menjadi akar kekerasan dan diskriminasi.
Bagaimana kita dapat melawan dominasi-dominsi seperti ini?. Kita mesti mengembangkan pendidikan yang menumbuhkan kepribadian moral yang kuat di kalangan peserta didik. Yaitu dengan menumbuhkan tiga prinsip dasar moral: baik terhadap semua orang, adil, dan hormat pada diri sendiri. Di samping itu; kejujuran, tanggung jawab, kerendahan hati, keberanian serta kemandirian moral mesti ditempatkan sebagai nilai-nilai keutamaan moral[47]. Kepribadian moral yang kuat akan menyelamatkan mahasiswa Universitas Tanjungpura dari golembang degradasi moral yang disebar-luaskan oleh pendidik baru mereka – media sosial.
Dampak dari perilkaku pendidik baru semakin diperkuat oleh pergeseran pola hidup, khususnya, sebagian masyarakat Kalimantan Barat. Dalam tiga dasa warsa terkhir ini juga mengalami pergeseran pola hidup, dari kehidupan di pinggir sungai ke jalan raya. Pergeseran pola hidup ini tentu diiringi dengan pegeseran tata nilai dan tentu saja perilaku [48],.
Secara internasional, pendidikan di era abad ke-21 menuntut sejumlah karakter yang perlu dimiliki. Pendidik mesti visioner, berani mengambil resiko, ‘leader’ dan panutan[49]. Demikian juga, peserta didik di abad ke-21 belajar menjadi seorang ‘creator’, ‘communicator’ dan ‘collaborator’ [50]. Jika para mahasiswa Universitas Tanjungpura lebih kreatif, komunikatif dan kolaboratif maka mereka akan mudah mengikuti perubahan pola hidup ini.
Karakteristik ini juga sangat penting untuk menyongsong masa depan Indonesia yang menjanjikan. Karakteristik ini dapat mendorong alumni Universitas tanjungpura menjadi bagian dari masyarakat produktif. Diperkirakan pada tahun 2030, Indnesia memerlukan sekitar 113 juta tenaga trampil. Mereka ini akan menjadi bagian dari sekitar 71% penduduk produktif[51].
Sementara itu, hingga dewasa ini, sistem pembelajaran di Indonesia lebih didominasi oleh tradisi pembelajaran behaviorisme yang sangat mengedepankan model ‘yang benar yang dari atas’. Sistem pembelajarannya bersifat instruksional, satu arah dan sistem evaluasi hasil belajarnya bersifat reproduksi pengetahuan yang telah dipelajari. Sebuah praksis dominasi dalam pendidikan sedang berlangsung [52]. Jika trandisi ini tetap dipertahankan, maka seorang kreator, komunikator, dan kolaborator di Universitas Tanjungpura masih jauh panggang daripada api.
Seorang mahasiswa yang kreatif, komunikatif dan kolaboratif tentang dengan mudah akan mengisi kompetensi mereka, kelak, sebagai sarjana (level-6 KKNI). Demikian juga, para dosen Universitas tanjungpura yang visioner, tentu juga tidak begitu sulit menunjukkan kompetensinya sebagai seorang ahli (level-8 dan level-9 KKNI)[53].
Penutup
Kebijakan yang akan diambil Universitas Tanjungpura dalam bidang akademis, yang hari ini anak dibicarakan, mesti dimulai dengan revolusi mental kita semua sehingga kita berani ke luar dari zona nyaman dan aman ke zona yang dipenuhi oleh semangat kreativitas dan inovasi. Jika ini dilakukan, kita akan menghasilkan alumni yang akan selamat mengarungi gelombang perubahan yang terjadi di Indonesia. Di harapkan kelak dapat menempatkan Universitas Tanjungpura dalam ranking tinggi di dunia.
Akhir kata, dengan meminjam kata-kata Presiden Joko Widodo, kita menyatakan, ‘Sudah saatnya orang-orang baik mengambil peran’[54]. Walaupun sedikit tetapi, “All the darkness in the world cannot extinguish the light of a single candle”[55].
Epilog
“Malam hari ketika sudah kembali di Dukuh Paruk, aku berdiri tanpa teman di luar rumah. Sekelilingku adalah tanah air yang kecil dan sengsara…. Sekelilingku adalah Dukuh Paruk yang sedang lelap dalam gubuk-gubuk ilalang, Dukuh Paruk yang sejak kelahirannya tak pernah mampu menangkap maksud tertinggi kehidupan. Tanah airku yang kecil tak pernah sungguh-sungguh mengembangkan akal budi sehingga tidak tahu bahwa dia seharusnya menyingkirkan kurap dan cacing yang menggerogoti anak-anak, serta kebodohan yang hanya membawa kemelaratan turun-temurun. ….
Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naïf, langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru kasat mata setelah dia membuat jantera bianglala di sekitar bulan. ….Bulan berkalang bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas.”[56]
Seperti si pemuda (Rasus) yang mengambil sikap membantu Dukuh Paruk menemukan jati dirinya, saya, dari mimbar ini mengajak Anda semua untuk mengambil sikap membantu Untan menemukan jati dirinya.
Terima kasih.
Disampaikan pada Lokakarya Kegiatan Akademik Universitas Tanjungpura, 21 Januari 2016
Referensi
Leo Sutrisno. 2015a. Mereka-reka masa depan Universitas Tanjungpura, Pontianak Post, Januari
Leo Sutrisno. 2014a. Ranking Universitas Tanjungpura di panggung dunia, Pontianak Post, Desember
Peringkat Universitas di Indonesia Versi Webometrics. Januari 2015. http://unycommunity.com
Wende. 2007. The Impact of Global Rankings in Higher Education. Journal of Studies in International Education, 11(3,4): 306-329; DOI:10.1177/1028315307303544
Philip G. Altbach, Liz Reisberg, and Laura E. Rumbley. 2009. Trends in Global Higher Education: Tracking an Academic Revolution. Report Prepared for the UNESCO 2009 World Conference on Higher Education
Rui Yang. 2000. Tensions between the global and the local: A comparative illustration of the reorganisation of China’s higher education in the 1950s and 1990s, Higher Education 39: 319–337
Jung Cheol Shin and Grant Harman. 2009. New challenges for higher education: global and Asia-Pacific Perspectives, Asia Pacific Educ. Rev. 10:1–13; DOI 10.1007/s12564-009-9011-6
Jenny Lunn. 2005. Global Perspectives in Higher Education, Research and Higher Education Division, Royal Geographical Society
Unesco. 1996. The four pillars of education. The treasure within: A report to UNESCO of the International Commission on Education for the twenty-first century.
Gloria M. Ameny-Dixon. 2004. Why multicultural education is more important in higher education now than ever: a global perspective. International Journal of Scholarly academic intellectual diversity, 6(1): 1-10
Jocelyne Gacel-Ávila. 2005. The Internationalisation of Higher Education: A Paradigm for Global Citizenry. Journal of Studies in International Education 9: 121-136; DOI: 10.1177/1028315304263795
Yin Cheong CHENG. 2002. Fostering Local Knowledge and Wisdom in Globalized Education: Multiple Theories.
The Nine Enneagram Personality Types,
John Tondowidjojo. 2013. Enneagram dalam Wayang Purwa Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
John Hattie. 2007. Developing Potentials for Learning: Evidence, assessment, and progress. 12th Bienniel Conference Earli 2007.
Jeong-Kyoum Kim and Deuk-Joon Kim. 2013. Meta-Analysis on Relations between E-Learning Research Trends and Effectiveness of Learning. International Journal of Smart Home 7(6): 35-48
Gloria Mothibi. 2015b. A Meta-Analysis of the Relationship between E-Learning and Students’ Academic Achievement in Higher Education, Journal of Education and Practice 6(9):
Surat Undangan, Pembantu Rektor I, 12 Januari 2016.
Leo Sutrisno. 2012. Larut tetapi tidak hanyut. Bahan diskusi Forum Zona Intergritas FKIP
Adrianna Kezar. 2004. What Is More Important to Effective
Governance: Relationships, Trust, and Leadership, or Structures and Formal Processes? New Direction for Higher Education 127, 35-46
Leo Sutrisno. 2015c. FKIP-Untan Mencari Model Pembelajaran di abad ke-21. Bahan diskusi para dosen pembelajaran FKIP Untan, Oktober
Martin Prosperity Institute. 2011. Creativity and Prosperity: The Global Creativity Index. http://martinprosperity.org
Martin Prosperity Institute. 2015. Creativity and Prosperity: The Global Creativity Index. http://martinprosperity.org
Richard Florida. 2015. Creativity in Southeast Asia. Competitiveness and Prosperity July 9
The Global Innovation Index 2013: The Local Dynamic Innovation. http://www.globalinnovationindex.org
The Global Innovation Index 2014 – WIPO www.wipo.int/edocs/pubdocs/en/economics/gii/gii_2014.pdf
Global Innovation Index 2015 – WIPO www.wipo.int/econ_stat/en/economics/gii/
The Learning Curve 2012 Report www.thelearningcurve.pearson.com
Explore The Learning Curve 2014, http://thelearningcurve.pearson.com
PISA 2012 Results http://www.oecd.org/pisa
PISA 2015. http://www.cmec.ca
Paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Pengembangan Kurikulum 2013. Semarang, 4 Mei 2013
Arahan Mendikbud. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013: Penyegaran Nara Sumber Pelatihan Guru untuk Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta, 26-28 Juni
Leo Sutrisno, 2014b. Peran layanan perpustakaan dalam pengembangan budaya lokal menghadapi MEA 2015. Konggres nasional pustakawan Indonesia, November.
Yin Cheong CHENG. 2002. Fostering Local Knowledge and Wisdom in Globalized Education: Multiple Theories
Jeff Deyer, Hal Gregensen, dan Clayton M. Christensen. 2011. The Innovator’s DNA. Harvard Business Review Press
Leo Sutrisno, 2014c. Kurikulum 2013: Tradisi behaviorisme vs tradisi konstruktivisme. Arue Monitor 2: Juni
Grethe Hooper Hansen. 2001. The Quantum Revolution in Education:Organic Learning presented at the SEAL Conference Canterbury – March/April
Stephen R Covey. 2011. The 3rd Alternative, NY: Free Press
John Hattie, 2009. Tomorrow’s Schools, The Mindsets that make the difference in Education. Universitas Auckland Visible Learning Laboratories
Aulia Reza Bastian. 2010. Kebangkitan pendidikan dan pemaknaan abad informasi. http://auliarezabastian.blogspot.co.id
Thomas L. Friedman, 2005 The world is flat: a brief history of the twenty first century
Leo Sutrisno. 2014d. Teknologi Informasi dan Komunikasi. Terpanggil untuk mengkomunikasikan kasih? Bahan diskusi bagi Pertemuan Pemuka Agama Kristen se-Kalimantan Barat, 28-29Juni.
Leo Sutrisno. 2015d. Pendidik baru dan orang tua yang ingkar. Pontianak Post, September
Leo Sutrisno, 2006. Masyarat Indonesia mengalami sejumlah transisi. Bahan untuk diskusi pada pertemuan SKPD Provnsi Kalimantan Barat di Pontianak, November
Haryatmoko. 2010. Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi. Jakarta: Obor
Leo Sutrisno. 2011. Pendidikan yang mampu melawan dominasi. Bahan diskusi untuk BINTEK guru agama Katolik SMA se-Kalimantan Barat. Agustus
Leo Sutrisno. 1995-6. Mereka-reka Visi Untan. Bahan diskusi untuk Team Penyusun Visi Untan. Okt 1995-Mei 1996.
Andrew Churches. 2013. The characteristics of the 21st Educator. allthingslearning.wordpress.com
Quataracameia. The 21st learner. 21c.qataracademy.wikispaces.net
McKinsey Global Institute. 2012, Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential.
Leo Sutrisno. 2006. Strategi pembelajaran pendidikan agama Katolik. Bahan untuk Bitek guru agama Katolik SD se-Kalbar, Pontianak. Juli.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 49, Tahun 2014.
Pidato Presiden Joko Widodo, 29 desember 2015 pada Perayaan Natal Nasional, Endeh.
De Yarrison, 2015. Verse, November 2 , in Today’s Quote.
Achmad Tohari. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk.
sumber: academia.edu
You must be logged in to post a comment.